Di sebuah hutan yang ditengahnya mengalir sungai yang besar, hiduplah dua ekor binatang yang saling bersahabat. Mereka hidup rukun dan damai. Binatang yang pertama adalah seekor monyet (Lapung Dare-dare) dan binatang yang kedua adalah seekor kura-kura (Lapung Kura). Walau Lapung Kura selalu di curangi oleh Lapung Dare-dare, tidak satu kalipun terbersit dihatinya untuk marah apalagi sampai berniat untuk membalas dendam. Lapung Kura sadar, bahwa dirinya hanyalah binatang yang hanya bisa berjalan lambat, sehingga kalaupun dendam, itu hanya akan menambah penderitaan batin saja.
“Saya memang tidak kuasa untuk mengubah kebiasaan Lapung Dare-dare berdasarkan cara pandang saya, maka biarlah saya yang mengubah cara pandang tentang kebiasaan Lapung Dare.” Batin Lapung Kura.
Suatu Sore, Lapung Dare-dare mengunjungi rumah Lapung Kura untuk mengajaknya jalan-jalan menyusuri pinggaran sungai yang membelah hutan tempat mereka tinggal.
Berjalanlah mereka berdua menikm ati pemandangan hutan yang asri. “Lihat pohon pisang itu Lapung Kura !” teriak Lapung Dare-dare sambil menunjuk kesebuah pohon pisang.
“Wah, bagus betul pohon pisang itu.” Ucap Lapung Kura gembira.
“Bagaimana kalau pohon pisang itu kita bawa pulang saja.” Usul Lapung Dare-dare. Lapung Kura hanya mengangguk. Dalam sekejap, mereka berdua saling bahu membahu mencabut sebuah tunas pohon pisang. Tidak berapa lama tunas pisang itu pun sudah berpisah dengan tanah.
“Bagaimana kita membawanya pulang ?” tanya Lapung Dare-dare.
“Kita gotong berdua saja, jadi pohonnya akan terasa ringan.” Usul Lapung Kura.
“Bagaimana kalau nanti ada yang menghadang kita ? lalu merampas pohon pisang kita.” Ujar Lapung Dare-dare. “Karena kamu jalannya lambat, biar kamu saja yang menggotong, sedangkan saya akan berjalan didepanmu untuk melihat keadaan.” Lapung Dare-dare mulai mengeluarkan akal bulusnya. Sebenarnya ia hanya malas untuk menggotong tunas pisang tersebut. L apung Kura tidak mempersoalkan, ia pun mengangguk setuju.
Dengan langkah tertatih, Lapung Kura berjalan semakin lambat membawa tunas pisang tersebut, sedangkan Lapung Dare yang berjalan cepat, mengisi waktunya dengan tidur-tiduran di halaman rumah Lapung kura sambil menunggu tunas pisang yang dibawa Lapung Kura.
Saat Lapung Kura sampai di rumahnya dengan membawa tunas pisang tersebut, Lapung Dare – dare pun menyambutnya dengan senyuman. “Pasti perjalananmu lancar, karena semua musuh yang akan merintangi jalanmu sudah saya amankan.” Ucap Lapung Dare-dare berbangga. Tapi Lapung Kura tidak terlalu menanggapinya ia hanya bertanya “Dimana pohon ini akan kita tanam ?”
Setelah berfikir sejenak Lapung Dare-dare menjawab “Sebaiknya kita bagi dua aja pohon pisang ini. Saya mendapat setengah bagian keatas, sedangkan kamu setengah bagian kebawah.” Lapung Kura mengiyakan, tanpa banyak komentar.
Lapung Dare-dare segera membawa potongan bagiannya pulang kerumah. Dalam hati ia berkata “rasain kamu Lapung Kura, saya telah membuat pembagian yang tidak adil. Bukankah bagian pohon pisang yang berbuah adalah bagian atasnya, tidak bagian bawah seperti yang telah diambil Lapung Kura.”
Hari terus berganti, dan setelah beberapa lama, pohon pisang milik Lapung Kura sudah mulai berbuah, sedangkan pohon milik Lapung Dare-dare tidak tumbuh karena tidak lagi memiliki akar. Betapa kagetnya Lapung Dare saat melihat pohon pisang milik Lapung Kura.
“Kasihan benar dirimu wahai sahabatku Lapung Kura. Kamu memiliki pohon pisang yang berbuah lebat, tapi kamu tidak mampu merasakan buahnya, hanya karena kamu tidak bisa memanjat. Untuk menunjukkan rasa solidaritasku, biarlah saya membantumu memetiknya.” Bujuk Lapung Dare-dare. Lagi-lagi Lapung Kura mengiyakan. Tidak sekalipun terlintas dalam benaknya untuk berburuk sangka kepada Lapung Dare-dare.
Culas sudah menjadi watak Lapung Dare-dare. Ia pun kembali menghianati kepercayaan yang dib erikan Lapung Kura kepadanya. Setibanya diatas Lapung Dare-dare berteriak kepada Lapung Kura “Saya akan menyicipi pisang ini dulu, agar saya tidak salah memberimu pisang sepat.”
“Terserah apa katamu sahabat.” Ujar Lapung Kura dari bawah.
Dengan sigapnya Lapung Dare-dare memakan pisang itu diatas pohon, sampai pisang yang ada tidak tersisa lagi. Ia pun bergegas turun. Dengan santainya ia berkata “beruntunglah kamu Lapung Kura, karena pisangmu ternyata manis semua.” Lapung Dare-dare pun segera berlalu pulang ke rumahnya tanpa merasa bersalah.
Sadar telah dicurangi, betapa sedihnya hati Lapung Kura. Ia pun segera berjalan-jalan ke tepian sungai untuk menghilangkan kegalauan hatinya.
“Apa yang membuat hatimu bersedih kawanku ?” Sebuah suara menghentikan lamunan Lapung Kura. Saat dipandangi, rupanya suara itu berasal dari Lapung Sikkuyu (kepiting) yang kebetulan lewat di depan Lapung Kura.
Lapung Kura menceritakan semua kejadian yang menimpany a barusan. “Tapi biarlah, saya tidak mau merusak persahabatan dengan Lapung Dare-dare hanya karena persoalan pisang” ucap Lapung Kura lirih.
Dalam hati Lapung Sikkuyu merasa kasihan dengan Lapung Kura. Tapi ia sadar bahwa Lapung Kura tidak akan membalas dendam kepada Lapung Dare-dare. Jika dibiarkan begini terus maka Lapung Dare-dare akan semakin bertambah sikap curangnya. Biarlah ia yang memberikan pelajaran kepada lapung Dare-dare.
“Diseberang sungai banyak terdapat pohon pisang, ajaklah sahabatmu Lapung Dare-dare untuk melihat-lihat kesana.” Ujar Lapung Sikkuyu.
“Terimakasih, pasti Lapung Dare-dare gembira mendengarnya. Saya akan segera mengajaknya.” Ucap Lapung Kura.
Keesokan harinya berangkatlah Lapung Kura dan Lapung Dare-dare menyeberangi sungai menggunakan perahu. Diam-diam, rupanya Lapung Sikkuyu telah menggunakan capitnya untuk melubangi perahu yang ditumpangi Lapung Dare-dare dan Lapung Kura. Karamlah perahu itu ditengah sungai. Karena tida k bisa berenang Lapung Dare-dare akhirnya menemui ajalnya di tengah sungai, sedangkan Lapung Kura, tetap selamat karena ia mampu berenang.
Kini Lapung Kura bisa hidup tenang tanpa khwatir lagi untuk dicurangi oleh Lapung Dare-dare.